Sabtu, 11 Desember 2010

makalah ilmu kebudayaan jawa


WAYANG


Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Islam danKebudayaan Jawa
Dosen Pengampu : Drs. Anasom



 














Oleh :
Muhammad Faiq                  (083711015)


 

FAKULTAS TARBIYAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2010


WAYANG


I.      Pendahuluan
Wayang kulit merupakan kesenian paling populer dikalangan masyarakat lokal hingga kini. Dalang wayang kulit biasanya ditanggap oleh keluarga-keluarga yang mengadakan pesta hajatan perkawinan dan khitanan. Dalam prosesi pesta hajatan tersebut, seorang dalang biasanya tidak sekedar berperan menghibur para pengunjung dengan pertunjukkannnya, tetapi jug sebagai dhukun yang mendoakan agar mereka yang memiliki hjat selalu dilindungi dari segala bencana. Ia juga sering berperan sebagai pawang hujan ketika ditanggap untuk menyelenggarakan pertunjukkan. Selain untuk keperluan pesta atau hajatan di kalangan keluarga-keluarga petani di pedesaaan, wayang kulit juga sering ditanggap untuk meramaikan rangkaiaan peringatan hari-hari besar tertentu, seperti peringatan 17 Agustus atau peringatan hari jadi kota.[1]

II.      Pokok Bahasan
A.    Asal Usul Wayang
B.     Fungsi Wayang
C.     Wayang dan Islam
III.      Pembahasan
A.    Asal Usul Wayang
Sebelum kebudayaan Hindu memasuki wilayah nusantara, khususnya pulau Jawa, kesenian wayang sudah ada (dalam bentuknya yang asli). Kemudian kesenian wayang mulai berkembang saat masa Hindu Jawa. Masa Hindu Jawa adalah masa transisi masyarakat Jawa ketika itu masih belum melepaskan sepenuhnya tradisi animisme dan dinamisme.
Menurut Kitab Centini, tentang asal-usul wayang Purwa disebutkan bahwa kesenian wayang, mula-mula sekali diciptakan oleh Raja Jayabaya dari Kerajaan Mamenang/Kediri.
Sekitar abad ke 10 Raja Jayabaya berusaha menciptakan gambaran dari roh leluhurnya dan digoreskan di atas daun lontar. Bentuk gambaran wayang tersebut ditiru dari gambaran relief cerita Ramayana pada Candi Penataran di Blitar.  Ramayana sangat menarik perhatiannya karena Jayabaya termasuk penyembah Dewa Wisnu yang setia, bahkan oleh masyarakat dianggap sebagai penjelmaan atau titisan Batara Wisnu. Figur tokoh yang digambarkan untuk pertama kali adalah Batara Guru atau Sang Hyang Jagadnata yaitu perwujudan dari Dewa Wisnu. Tetapi bentuk wayang masih berbentuk wajah manusia, padahal dalam Islam menggambar atau mengukir wajah orang hukumnya haram.
Berkat keuletan dan ketrampilan para pengikut Islam yang menggemari kesenian wayang, terutama para Wali, berhasil menciptakan bentuk baru dari Wayang Purwa dengan bahan kulit kerbau yang agak ditipiskan dengan wajah digambarkan miring, ukuran tangan dibuat lebih panjang dari ukuran tangan manusia, sehingga sampai di kaki. Wayang dari kulit kerbau ini diberi warna dasar putih yang dibuat dari campuran bahan perekat dan tepung tulang, sedangkan pakaiannya di cat dengan tinta.
Pada masa itu terjadi perubahan secara besar-besaran di seputar pewayangan. Di samping bentuk wayang baru, diubah pula tehnik pakelirannya, yaitu dengan mempergunakan sarana kelir/layar, mempergunakan pohon pisang sebagai alat untuk menancapkan wayang, mempergunakan blencong sebagai sarana penerangan, mempergunakan kotak sebagai alat untuk menyimpan wayang. Dan diciptakan pula alat khusus untuk memukul kotak yang disebut cempala. Meskipun demikian dalam pagelaran masih mempergunakan lakon baku dari Serat Ramayana dan Mahabarata, namun di sana-sini sudah mulai dimasukkan unsur dakwah, walaupun masih dalam bentuk serba pasemon atau dalam bentuk lambang-lambang. Adapun wayang Beber yang merupakan sumber, dikeluarkan dari pagelaran istana dan masih tetap dipagelarkan di luar lingkungan istana.[2]

B.     Fungsi Wayang
Disamping sebagai hiburan atau tontonan masyarakat Jawa khususnya, wayang mengandung banyak pesan dan nilai seni, sebagaimana yang disampaikan oleh Dr. Abdullah, menyebutkan adanya 5 cabang kesenian yang tersangkut didalam wayang, yaitu:
1.  Seni Widya : Filsafat dan pendidikan
2.  Seni Drama : pentas dan karawitan
3.  Seni Gatra               : pahat dan lukisan
4.  Seni Ripta               : sanggit dan kesusasteraan
5.  Seni cipta                : konsepsi dan citraan baru[3]
Kita semua mengetahui, bahwa bagi masyarakat jawa, wayang tidaklah hanya sekedar tontonan tetapi juga tuntunan. Wayang bukan sekedar sebagai sarana hiburan, tetapi juga sebagai media komunikasi (dakwah), media penyuluhan dan media pendidikan.[4] Wayang mengandung makna lebih jauh dan mendalam karena mengungkap gambaran hidup semesta (wewayange urip). Wayang dapat memberikan gambaran lakon kehidupan umat manusia dengan segala masalahnya. Dalam dunia perwayangan tersimpan nilai-nilai pandangan hidup jawa dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan dan kesulitan hidup.[5]

C.    Wayang dan Islam
Yang menarik dari kiprah para Walisongo adalah aktivitas mereka menyebarkan agama di bumi pertiwi tidaklah dengan armada militer dan pedang,tidak juga dengan menginjak-injak dan menindas keyakinan lama yang dianut oleh masyarakat Indonesia yang saat itu mulai memudar pengaruhnya,Hindu dan Budha. Namun mereka melakukan perubahan sosial secara halus dan bijaksana. Mereka tidak langsung menentang kebiasaan-kebiasaan lama masyarakat namun justru menjadikannya sebagai sarana dalam dakwah mereka. Salah satu sarana yang mereka gunakan sebagai media dakwah mereka adalah wayang.
Sebelum Walisongo menggunakan wayang sebagai media mereka, sempat terjadi perdebatan diantara mereka mengenai adanya unsur-unsur yang bertentangan dengan aqidah,doktrin keesaan tuhan dalam Islam. Selanjutnya para Wali melakukan berbagai penyesuaian agar lebih sesuai dengan ajaran Islam.Bentuk wayangpun diubah yang awalnya berbentuk menyerupai manusia menjadi bentuk yang baru. Wajahnya miring,leher dibuat memanjang,lengan memanjang sampai kaki dan bahannya terbuat dari kulit kerbau.
Dalam hal esensi yang disampaikan dalam cerita-ceritanya tentunya disisipkan unsur-unsur moral ke-Islaman. Dalam lakon Bima Suci misalnya, Bima sebagai tokoh sentralnya diceritakan menyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan Yang Esa itulah yang menciptakan dunia dan segala isinya. Tak berhenti di situ, dengan keyakinannya itu Bima mengajarkannya kepada saudaranya, Janaka. Lakon ini juga berisi ajaran-ajaran tentang menuntut ilmu, bersikap sabar, berlaku adil, dan bertatakrama dengan sesama manusia.[6]
Munculnya figur punakawan merupakan hasil kreasi Wali sanget tinelon untuk memperagakan serta mengabdikan fungsi watak, tugas konsepsional walisongo dan para mubaligh. Menurut Prof. K.MA Machfoel nama Semar, Nala Gareng, Petruk, dan bagong bukan merupakan sebutan bahasa jawa kuno, tetapi berasal dari bahasa arab sebagaimana nama:

Semar dari Ismar
Nala Gareng dari Naala Qariin
Petruk dari Fatruk
Bagong dari Baghaa
Ismar adalah paku, berfungsi sebagai pengokoh yang goyah.
Naala Qoriin oleh pengucapan lidah jawa Naala Gareng yang berarti memperoleh banyak teman, dan tugas konsepsional para Walisongo sebagai juru dakwah (dai) ialah untuk memperoleh sebanyak-banyaknya kawan untuk kembali kejalan Tuhan dengan sikap arif dan harapan yang baik.
Fatruk oleh pengucapan jawa menjadi petruk. Dari kata wejangan tassawuf: fat-ruk kulla maasiwallahi,tang artinya tinggalkan semua apapun kecuali Allah.
Baghaa = Bagong yang berarti berontak, yaitu berontak kepada kebathilan atau kemungkaran.
      Ditinjau dari segi makna serta isi seni wayang, jelas bahwa punakawan adalah bentuk lambing atau visualisasi dari ide masyarakat Jawa. Masyarakat penggemar wayang menyadari bahwa manusia sebetulnya manusia memerlukan pamomong dalam perjalanan hidup.[7]

IV.      Kesimpulan
Wayang sebagai titik temu budaya jawa dan islam  adalah suatu momentum yang sangat berharga bagi perkembangan khasanah budaya Jawa. Kini masyarakat Indonesia telah memasuki era keadilan. Konsepsi keadilan yang kini ditunggu realisasinya sedemikian rupa sehingga kata adil dirangkai dengan ambeg parama arta. Sunan Kalijogo sebagai salah satu Walisongo mendambakan kehadiran sosok ratu adil. Yaitu prabu yudhistira yang  bernama Prabu Dhama Kusuma, seorang raja tanpa mahkota yang dikenal memakai udeng, dengan maksud agar mudeng, mengarti bahwa didalamnya tersimpan Jimat Kalimasada. Kalimat syahadat merupakan kalimat yang semula dijadikan jimat (siji dirumat) kekuatan spiritual yang kemudian ditradisikan dalam sekaten. Kalimat syahadatain, yakni syahadat tauhid dan syahadat rosul  kemudian ditradisikan dan disosialisasikan dalam kegiatan grebeg maulud atau sekaten yang diselenggarakan mulai tanggal 1 sampai 12 maulud setiap tahunnya.[8]

V.      Penutup
Demikianlah makalah yang sederhana ini kami susun semoga dapat bermanfaat bagi penyusun pada khususnya dan pembaca pada umumnya. Akhirnya kami merasa kerendahan hati sebagai manusia yang mempunyai banyak sekali kekurangan. Oleh sebab itu kritik dan saran kami tunggu demi kesempurnaan makalah selanjutnya. Semoga niat baik kita diridloi oleh Allah SWT. Amin

















       VI.      Daftar Pustaka
Chami, Asykuri Ibn .et.al, 2003, Purifikasi & Reproduksi Budaya di Pantai Utara Jawa,( Surakarta: Penerbit Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial UMS)
http://wayangbeber.blogspot.com/ diakses tanggal 9/10/2010,18:48
Sudarto,et.al, 2002, Islam & Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: GAMA MEDIA)
Sujamto, 1992, Wayang & Budaya Jawa, (Semarang: Dahara Prize)




[1] Asykuri Ibn Chamim.et.al, Purifikasi & Reproduksi Budaya di Pantai Utara Jawa, Surakarta: Penerbit Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial UMS, 2003, Hlm. 36
[2] http://wayangbeber.blogspot.com/ diakses tanggal 9/10/2010,18:48
[3] Sujamto, Wayang & Budaya Jawa,Semarang: Dahara Prize, 1992, Hlm.18
[4] Ibid, Hlm. 26
[5] Sudarto,et.al, Islam & Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: GAMA MEDIA, 2000, Hlm.172
[6] http://indungsia.wordpress.com/2010/06/25/wayang-dan-penyebaran-islam-di-indonesia/

[7]Ibid, Sudarto, Hlm. 180-181
[8] Ibid, Hlm.183

Tidak ada komentar:

Posting Komentar